Oleh: Teguh Renggayana *)
Abstrak
Pembicaraan tentang disparitas kondisi pendidikan di perkotaan dan pedesaan banyak memberi masukan positif bagi penguatan atau perbaikan pola pembangunan pendidikan di Indonesia, khususnya Banten. Hal seperti ini memang perlu dengan terus menerus dibicarakan dan dilakukan agar tidak menjadikan diri kita sebagai individu kreatif yang ketinggalan”. Padahal arah pembangunan pendidikan secara global telah banyak mengalami rekayasa dan perubahan signifikan sesuai dengan milenials area yang terjadi. Kita lahir sudah memiliki potensi higher order thinking skills (HOTS) dari orang tua secara genetika dengan pembiasaan pola 4C. Yakni creative, critical thinking, communicator, dan collaborative tentu dilengkapi dengan budaya literasi, pengembangan karakter. Tentu saja pendidikan tidak harus melewatkan pembicaraan-pembicaraan tentang otentifikasi dan pengembangan sebagai cara pandang pendidikan dalam menyikapi problematika di dalamnya. Permasalahan seperti ini pun tidak bisa terlepas dari: 1) kurikulum, 2) Insfrastruktur (fisik, sarana prasarana sekolah), dan 3) SDM/i tentunya. Ketiga hal inilah yang paling tidak akan berdampak pada learning develop quality secara umum.
Ulas, Alus Pendidikan
Ketiga hal tersebut harus sama-sama membangun keterkaitan yang berkelanjutan (sustaineble process) yang akan berdampak pada pengembangan ide, dokumen , dan proses sebagai pola yang relevan untuk ditumbuh kembangkan bersamaan dengan segala macam keragaman yang ada dalam peristiwa-peristiwa pembelajaran kita. Keragaman ini pasti akan berpengaruh setidaknya terhadap kemampuan guru dalam mengembangkan kurikulum, kemampuan sekolah dalam mengakomodir pengalaman belajar peserta didik, dan keberdayaan peserta didik dalam berproses terhadap pembelajaran termasuk mengolah informasi yang juga dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Kevariatifan yang harus mendapat layanan dari dunia pendidikan, tentunya dalam hal ini kurikulum secara variabel yang konsekwen dalam pengembangan: filosofis, teori, visi, dokumen, sosialisasi kurikulum, implementasi kurikulum kita tengah berada pada persimpangan, arah, dan masa lalu yang kita semua juga ingin beranjak dari arah yang jelas dan menuju masa depan pendidikan kita yang madani dan benar-benar melayani semua anak bangsa ini dengan arif dan baik.
Kurikulum yang bernilai multikultur sebagai pendekatan tertentu harus mempunyai pijakan atau prinsip-prinsip yang harus dijadikan rancangan dalam setiap proses pengembangannya. Dalam kaitannya dengan hal itu “Hasan” membagi prinsip pengembangan kurikulum ditinjau dari pemahaman multikultur: 1) keragaman menjadi dasar dalam menentukan falsafah kurikulum, 2) keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum (perencanaan, tujuan, konten, dan evaluasi), 3) budaya di setiap satuan pendidikan adalah sebagai salah satu sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian kegiatan belajar siswa, dan 4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan eksistensi kebudayaan local dan nasional.
Realitas politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta segala peristiwa yang dialami, umumnya berposisi sebagai priferal objek dalam usaha mengembangkan kurikulum, baik secara makro ataupun mikro dalam lingkaran pendidikan kita. Keberagaman ini telah mengindikasikan tekanan yang sama, apabila tidak bisa dikatakan lebih kuat antara perbedaan filosofis, visi, dan teori-teori yang dipakai oleh para makers yang berada pada proses pendidikan itu sendiri. Sekolah sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan di Negara ini, dalam hal ini sekolah selalu menjadi salah satu acuan keberhasilan pendidikan yang terasa massif; jadi sudah seharusnyalah kebijakan dalam dunia pendidikan harus memenuhi layanan kebutuhan pendidikan itu sendiri. Kalaupun ada kesenjangan, ini dapat dikompromikan” melalui kapasitas seseorang meski harus menempuh jalan deliberasi yang paling demokrasi sekalipun. Setelah perbedaan-perbedaan itu terselesaikan, maka proses pengembangan kurikulum dapat dengan mudah dilakukan.
Keberagaman adalah suatu realita yang berposisi sebagai objek priferal dalam proses kurikulum secara menyeluruh. Objektivitas keragaman sebagai objek, kadangkala sering disentralisasi oleh para pengembang kurikulum, dan seringkali yang berposisi sebagai objek dapat berubah sebagai subjek dan penentu dalam penerapan kurikulum. Keberagaman kerap kali tidak menjadi landasan dalam proses untuk mengembangkan kurikulum oleh guru. Seperti kita sadari dan ketahui bersama bahwa sadar akan dan bisa mengolah keberagaman dengan baik serta benar dapat berimplikasi langsung pada kemampuan guru sebagai pengembang kurikulum, sekolah sebagai akomodator pengelaman belajar siswa, dan siswa sebagai objek bahkan subjek yang berproses dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini sudah cukup jelas dalam melatarbelakangi pandangan keberagaman dalam kurikulumdi sekolah sebagai proses pengoptimalisasian kurikulum pada wilayah proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality, juga kurikulum sebagai hasil).
Keragaman Sebagai Suatu Variabel Bebas dan Pengembangan
Keberagaman sebagai sesuatu variabel yang bebas pasti akan berada pada tataran posisinya di sekolah dan masyarakat yang terletak pada lingkup pengembangan kurikulum, dimana diharapkan secara multilator dapat menjadi pe-ubah yang sesuai dengan kebutuhan atau permintaan yang telah diperkirakan. Dengan perkataan lain, pengaruh-pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali; di mana studi tentang kurikulum memperlihatkan rentetan yang berkemungkinan ada perubah sederhana atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan sebelumnya (Waring, 1982:122). Maka dari itu, keberagaman haruslah diperhitungkan dan menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan secara fiosofis, teori, visi misi, pengembangan dokumen, imlementasi pelaksanaan, dan lain sebagainya.
Pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi kurikulum dengan mengatakan “curriculum is a construct of that culture”. Bahwasannya kebudayaan sudah sejak lama disadari sebagai salah satu landasan bagi pengembnagan kurikulum (Taba, 1962:146) di samping landasan lain, seperti: 1) ilmu pengetahuan; 2) teknologi; 3) politik; 4) ekonomi; 5) juga perkembangan lainnya di masyarakat. Ki Hajar Dewantara menyatakan “kebudayaan adalah faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa”. Tentu saja kebudayaan secara pengertian yang tidak sempit, pernyataan tadi benar adanya dan sesuai dengan kenyataan yang ada; bahwa kebudayaan sangat dibutuhkan bukan hanya untuk sekedar prinsip yang berada di dokumen kurikulum, akan tetapi lebih infinitive lagi dari pada itu semua. Bahwa pendidikan membutuhkan prinsip-prinsip berkebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berinteraksi pada kebudayaan itu sendiri “kearifan lokal”. Harmonisasi akan terjadi pun kita mengerti dan memperlakukan pendidikan sebagai sesuatu yang bisa tumbuh dan berkembang dengan mengetengahkan ini semua, karena memperlakukan pendidikan serta para penggiat di dalamnya adalah bagaimana kita dapat mendalami makna profesionalisme, manajemen, interaksi kemanusiaan yang lebih dalam. Karena pendidikan tumbuh dan berkembang, berarti pendidikan itu hidup; hidup adalah memaknai manusia-manusia yang beragam, hidup adalah menjadikan manusia bisa tumbuh dengan baik dan berkembang dengan benar.
Berbicara pengembangan kurikulum sebagai dokumen yang akan dijadikan para pendidik sebagai salah satu bahan proses belajar mengajar tentu sangat sederhana dan pasti tidak akan terlepas dari teori-teori belajar dan tema-tema dalam setiap materi di dalamnya. Jauh dari pada itu kurikulum juga sebagai proses untuk mengukur kejujuran kita dalam mengelola satuan pendidikan di dalamnya, jadi jangan sampai ada rekayasa negative dari para pengelola dan pengembangnya demi untuk kepentingan-kepentingan yang memang telah secara nyata menghianati falsafah pendidikan kita.
Saya cukup yakin bahwa bahwa teori belajar belum cukup membahasakan keberhasilan “target priority” per-mata pelajaran yang ada. Kecenderungan siswa dalam membacakan sajak harus selalu dengan lantang, keras, dan menggebu-gebu atau dalam setiap peristiwa dramatis haruslah mempunyai rangkaian cerita yang terstruktur (0 kemudian menuju ke 1 dan ada konflik, setelah itu ada penyelesaian dan penyelesaian tersebut pasti berakhir pada happy ending atau said ending. Nah” di sinilah teori belajar dan konsep pembelajarannya yang diterapkan sangat mempengaruhi hasil pembelajarannya. Bahwa tidak semua sajak harus dibaca seperti itu”, bahwa sajak pasti meminta sendiri cara pembacaannya yang sudah barang tentu di kaji terlebih dahulu. Selama ini teori belajar yang dikembangkan terutama hasil pandangan dari psikologi.teori belajar seperti ini dikenal dengan “literature” yang dikembangkan dari macam-macam cara pandang. Ini sudah tentu akan ada kegunaannya, tetapi kita juga perlu mempertimbangkan keharmonisan dengan pendidikan dan segala peristiwanya sekarang ini. Sudah barang tentu teori belajar berdasarkan cara pandang psikologi sering bertendensi dan juga berasumsi bahwa “siswa belajar pada satu situasi” yang value free atau culture and society free. Ini berarti kurang merasakan bahwa siswa adalah pribadi dan hidup beraksi terhadap stimulus apakah dengan behavior atau kognitif, peserta didik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan budaya di mana peserta didik itu hidup. Dalam bukunya yang berjudul sosiocultural origins of acihievment, Maehr (1974: 21) mengatakan “keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan dan motivasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran.
Peran budaya yang kuat dalam upaya seseorang untuk memahami lingkungan masyarakat dan belajarnya. Oleh karena itu, sudah waktunya kita dalam lingkungan pendidikan untuk dapat dengan tepat menginterpretasikan kebutuhan kebudayaan sebagai salah satu landasan dalam kurikulum sebagai cara pandang pendidikan secara menyeluruh, karena pola pikir seperti ini setidaknya akan dapat menentukan hasilnya kelak pada komponen-komponen seperti dalam tujuan, materi proses, dan evaluasi penerapan kurikulum, dan pengalaman belajar siswa di setiap satuan pendidikan. Berarti, para pengembang kurikulum di tingkat pusat, daerah, dan sekolah perlu berpandangan bahwa kebudayaan merupakan basementnya bagi kurikulum yang dikembangkan secara sistematis dan lebih bersungguh-sungguh lagi dengan dibuktikan pada aksi nyata oleh para pengembangnya, oleh para penggunanya, oleh para pengelolanya, mulai dari Kepala Sekolah (Manager) sampai pada cleaning servisnya di setiap satuan pendidikan, khususnya Pendidikan menengah yang menjadi kewenangan provinsi.
Multukultur dan Pengembangan Kurikulium Muatan Lokal Sebagai Suatu Pendekatan
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 “Otonomi Daerah” tentunya jika kita tafsir dan sandingkan lebih dalam adalah UU ini memberikan wewenang bebas terbatas kepada masing-masing daerah untuk mengelola segala sesuatu yang ada dalam daerahnya, termasuk education sector. Mungkin-mungkin saja jika dikelola dengan komperhensif dan berkeinginan keras, pendidikan akan menghasilkan kurikulum yang sesuai dengan visi misi, persepsi para pengembangnya di daerah atau kurikulum yang di dalamnya mempunyai nilai kebudayaan lokal yang sesuai dengan daerahnya. Tetapi bukan tidak mungkin, jika kurikulum yang dikembangkan di setiap sekolah-sekolah tidak dikembangkan melalui pendekatan budaya, terlebih multikultural sebagai pendekatan. Karena kurikulum yang menggunakan pendekatan ini tidak semata-mata harus sistematis, tetapi lebih dari itu. Pendekatan ini haruslah dipahami sebagai pengembangan yang memerlukan kesadaran dan kedalaman interpretasi terhadap cara pandang multikultural itu sendiri, dan itu tidaklah singkat untuk kita. Kurikuklum itu roh untuk memberikan pedoman pembangunan Pendidikan baik bersifat makro dan mikro dalam area pembangunan Pendidikan itu sendiri. Jadi sebenarnya semua proses pembangunan Pendidikan haruslah dengan sinergis pada kurikulumnya, baik kurikulum nasional dan atau kurikulum daerahnya.
Inpres Revitalisasi dan Sinergitas
Intruksi Presiden Republik Indonesia No 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Menyebutkan peran dan fungsi Lembaga-lembaga Negara, Pemerintah Daerah. Dimana Gubernur selaku Kepala Pemerintahan di Daerah mempunyai peran dan kewajiban : 1). Memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan SMK yang bermutu sesuai dengan potensi wilayah masing-masing, 2). Menyediakan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Sarana prasarana SMK yang memadai dan berkualitas, 3). Melakukan penataan kelambagaan SMK me;liputi program kejuruan yang dibuka dan lokasi SMK; dan 4). Mengembangkan SMK unggulan sesuai dengan potensi wilayah masing-masing. Banten terlihat sudah memulainya dengan berbagai program dan kegiatan yang dimiliki, walaupun pasti dengan berbagai penyempurnaan dan perbaikan kedepan. Tercatat yang cukup membuat tingkat kepercayaan publik meningkat terhadap layanan Pemerintah Provinsi Banten adalah dengan beberapa program yang telah dilakukan kurang dari 2 (dua) tahun ini yang terlihat jelas menjamin layanan Pendidikan untuk semua masyarakat Banten. Sekolah Gratis ternyata dengan cepat menjawab disparitas Pendidikan antar wilayah , Sekolah Gratis ternyata memberikan dan menjamin seluruh masyarakat Banten usia produktif untuk berada di bangku sekolah, bahkan dengan kreatifitas dan penguatan layanannya tentulah harus dapat menjemput remaja-remaja Banten usia SMP/sederajat untuk melanjutkan di SMA/SMK/SKh dan mengembalikan remaja usia sekolah yang putus sekolah SMA/SMK/SKh menjadi kembali bersekolah dengan harapan kedepan mampu dalam menghadirkan hidup yang layak bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Tentu ini pekerjaan yang tidak mudah, tapi ini yang harus kita lakukan terhadap berbagai layanan di bidang Pendidikan di Banten.
Pemerintah Provinsi Banten, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah mempunyai payung hukum terkait pengembangan kurikulum dalam konteks kearifan lokal (local wisdom) hal ini tertuang dalam Peraturan Gubernur nomor 15 tahun 2014 tentang Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) di sekolah, khususnya SMA, SMK, dan SKh; paling tidak ada 3 hal yang dapat dikembang dan urusi dengan ruang yang cukup luas dan dinamis oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Swasta di Banten ada : 1). Membatik (kerajinan), 2). Rampak bedug (seni) dan 3). Pencak Silat (tradisi),”. Terlebih pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi Banten telah menargetkan RPJMD 2017-2022 dimana salah satunya terdapat indikator-idikator capaian Pembangunan Pendidikan baik secara Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia. Tentu ini akan dengan spesifik membantu goals pemerataan/perluasan akses, peningkatan mutu dan tata kelola Pendidikan di Provinsi Banten yang memiliki letak geografis dan budaya tersendiri. Kuncinya adalah mengejar target-target yang telah ditetapkan dan menyelaraskan kembali hal-hal yang belum rasional dalam upaya pencapaian target dan kinerja tersebut.
Memang usaha-usaha perbaikan, kemultikulturan, kurikulum tidaklah mudah, karena ini berarti mempunyai konsekwensi untuk melayani keragaman dari setiap peserta didik di dalamnya. Ini sulit, tetapi paling tidak bila dilakukan pun ini tentunya akan membentuk sebuah lembaga pendidikan (Sekolah) yang bertujuan dan mengarah pada kemadanian, madani dalam bermacam-macam hal.
*) Penulis ialah ASN pada Pemerintah Provinsi Banten, Ketua Komunitas Banten Club, Ketua Komunitas Skarang (Studi-Klub Apresiasi Rangkasbitung